Minggu, 29 April 2012

Pojok Inspirasi, disaat sibuk - ataupun senggang

Pemikiran jernih | Bergerak



Jenuhlah! - maka kembali kesini

Memahami Peran Seorang Pemimpin

Artikel Jakarta, April 2012

Suatu hari, salah seorang sahabat saya bertanya, “Ga, memangnya kualitas seseorang itu ditentukan dari seberapa tinggi jabatan orang tersebut ya?”
Dan jawaban saya adalah, “Tergantung. Ya, semuanya berhubungan dengan dimana kamu berada dan seperti apa paradigma orang-orang yang ada di dalamnya terkait hal itu? Karena hal itu pun akhirnya tergantung dengan sistem yang berlaku di dalamnya?”
Saya yakin, pasti sahabat saya itu langsung bingung ketika mendapatkan jawaban saya itu. Akhirnya, saya pun berkewajiban menjelaskannya dengan lebih sederhana lagi. Dan lagi-lagi, jawaban saya selalu tergantung atau relatif. Karena toh di dunia ini apalagi yang absolut selain realita dan perangkat-perangkat dari takdirNya?

Sahabat, mungkin tak sedikit yang berpendapat bahwa orang yang menjadi pemimpin nomor satu di sebuah lembaga adalah orang yang paling hebat di antara yang lain. Atau pemimpin di sebuah perusahaan besar, siapa pula yang tidak menganggapnya sebagai orang yang luar biasa? Pasti semua sepakat bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang memiliki kapasitas lebih, salah satunya tentu dalam memimpin ketimbang yang lainnya. Minimal mereka telah berani menghadapi resiko dalam menjalani perjalanan kepemimpinan itu sendiri. Bahkan di saat yang lainnya hanya berani untuk memandang dan mengamati, atau tak siap menghadapi serba-serbi tantangan yang akan ditemui ketika nantinya menjabat bidang tertentu di sebuah struktur.

Pandangan bahwa kualitas seseorang itu ditentukan oleh jabatan atau hal-hal struktural yang ada, bukanlah jawaban yang salah. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa bukan hanya itu satu-satunya jawaban. Misalnya, kalau kita ingin memfokuskan permasalahan ini pada kepemimpinan sebagai standar kualitas tertinggi seorang manusia, maka pertama-pertama kita pun harus kembali pada makna kepemimpinan atau pemimpin itu terlebih dahulu.
Kepemimpinan dan Pemimpin merupakan dua hal yang tidak sama.
Pertama, tentang kepemimpinan yang dapat diartikan sebagai kemampuan pemimpin, gaya dalam memimpin, atau dinamika saling mempengaruhi yang terjadi dalam kelompok dimana kelompok ‘memimpin’ dirinya sendiri melalui aturan-aturan yang dibuatnya. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun kita akan menemukan “n perihal pemimpin; cara memimpin: mahasiswa tetap mendukung cara ~ nasional Presiden” untuk kata kepemimpinan.

Kedua, pemimpin. Kembali berpedoman pada KBBI bahwa pemimpin ialah orang yg memimpin: ia ditunjuk menjadi ~ organisasi itu; 2 petunjuk; buku petunjuk (pedoman): buku ~ montir mobil;~ produksi produser. Jika ditinjau lebih jauh lagi, kita akan menemukan hakikat dari pemimpin itu sendiri. Pemimpin bukanlah ketua atau atasan, sehingga nantinya yang tidak memimpin bukanlah pemimpin. Bukan itu. Setiap orang mungkin saja mendapatkan “pimpinan” dari lebih satu orang. Pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi dan menjadi rujukan atau pedoman bagi orang yang ingin dipimpinnya.
Melihat kedua penjabaran definisi tersebut, maka kita akan kembali diingatkan bahwa pemimpin bukanlah status, akan tetapi ia adalah peran dan siapapun dapat melakukannya meskipun dia tidak menjadi seorang ketua di dalam struktur manapun. Jadi, jika standar yang kita gunakan adalah kepemimpinan atau pemimpin tadi, maka jawabannya adalah seseorang dapat dikatakan berkualitas jika ia memiliki kemampuan mempengaruhi atau menjadi pedoman yang berkualitas pula. Sekali lagi, meskipun dia tidak menjabat sebagai ketua atau atasan di organisasi atau lembaga manapun.
Wallahua’lam.

Sabtu, 28 April 2012

Catatan Aktifis : Agar Organisasi 'Ngga-Cuma', Sekedar Kuliah

Surprise for you, Guys


Kuliah dan segala aktivitas akademik bagi beberapa orang adalah aktivitas yang menyenangkan. Sebagian  yang lainnya mengatakan ‘Candu’.  Candu,walaupun dan bagaimanapun tetap saja terikat pada satu kata,kuliah! Beberapa lagi adapula yang berkata bahwa kuliah adalah anugerah terindah.
Sebaliknya, organisasi dengan seabrek aktivitasnya adalah hal yang sangat menjemukan bagi sebagian besar orang. Sebagian lain mengatakan bahwa diorganisasi ia bisa belajar banyak hal termasuk didalamnya tentang aktivitas kuliah. Hanya beberapa gelintir saja yang mengatakan bahwa organisasi adalah prestasi hidup.
Lantas, sebagai seorang mahasiswa ‘sekaligus’ aktivis maka kuliah berikut aktivitas organisasi adalah dua hal yang menjadi prioritas. Dikatakan demikian sebab seringkali dilapangan terjadi ketimpangan, boro-boro mengatakan kuliah adalah anugerah, yang ada adalah waktuku habis untuk kuliah dengan seabrek aktivitas organisasi yang di ikuti.

Ketika tiba pada satu masa …
Di fragmen ini yang dikedepankan adalah ketika kita dihadapkan pada satu dari dua: Bosen atau Lalai Kuliah. Ini penting untuk kemudian kita bersama-sama mampu mengembalikan perkara [ini] pada tempatnya. Penting, sebab pada masanya dua hal ini adalah fenomena yang seringkali menggoda iman.
Satu, bosen kuliah. Pernahkah mengalami hal ini? Ketika aktivitas kuliah memaksa seluruh tenaga, pikiran, waktu, dan uang (sekalipun) untuk dikuras habis, momentum ini berpeluang dahsyat untuk menghantarkan kita pada fenomena satu; bosan kuliah.
Jasmani adalah material urgen menjadi faktor penentu dari bosan itu sendiri. Ketidaksiapan jasmani untuk melawan tantangan (resiko) kuliah seringkali membuat tindakan  awal yang fatal; menunda-nunda.  Hal lain yang tak kalah krusialnya adalah kondisi rohani, bahasa gaulnya aktivitas ruhiyah. Tak sedikit yang menyampingkan pengaruh  ruhiyah ini, mantap percaya diri bahwa ‘ruh’nya tidak mengalami yazid (penurunan). Ruh yang kering, kosong ataupun bermasalah malah rentan meninggalkan khilaf yang fatal; malas!
Seorang mahasiswa yang ‘rela’ menjadi aktivis semestinya memperhatikan dengan seksama kapan saat tiba fenomena ini menyerang, penting untuk mengenali gejala awal. Kejadian di lapangan membuktikan, ketika kesibukan kuliah memaksa kesiapan jasad dan ruh seringkali para aktivis lupa mempersiapkan keduanya, bahkan lupa pada banyaknya demand tugas yang membukit. Satu kali saja salah menempatkan perkara ini maka bersiaplah untuk dihujani perkara ini sampai kita sendiri turun gunung untuk mengeringkannya. Contoh kasus, mahasiswa dan juga aktivis organisasi [organisatoris] mengatakan bahwa ia bosan dengan aktivitas kuliahnya. Setelah di’introgasi’ lebih lanjut ternyata ia tidak mengerjakan (atau lalai) pada salah satu  tugas yang harus dikerjakan olehnya, menyerahkan bukti mengikuti praktikum kepada asisten; laporan praktikum. Ini berlanjut dan merembet pada aktivitas kuliahnya sehingga tibalah dirinya pada pintu pertama, bosan kuliah
Dua, Lalai Kuliah. Kesibukan dan aktivitas tak terperi bagi seorang organisatoris yang notabenenya mahasiswa seringkali meninggalkan jejak tak sedap bagi penerus risalah [kuliah dan organisasi] yang diikutinya. Mengapa? Orang lain cenderung menilai dan merekomendasikan seseorang untuk kuliah ataupun berorganisasi dengan melihat teman sejawat atau seniornya, seperti apa dan bagaimana mereka.
Gejala lalai ini bermula dari keacuhan dan perpanjangan kasus dari fenomena satu. Malas, menunda dan terus menunda hingga akhirnya terlelap lalai dibuai oleh waktu yang melewatinya dengan gagah. Target-target pencapaian dan prestasi hanya menjadi catatan menyedihkan manakala satu persatu prestasi dan pencapaian itu menurun.
Aktivis yang terjangkit fenomena pertama dan tidak mampu mengenali [mengatasi],maka pada ambang batas perkuliahan akan menemui fenomena kedua ini, lalai kuliah. Dalih yang tak cerdas ketika deretan angka-angka hasil perjalanan semesternya digandrungi oleh rantai karbon,”ah belum terlambat jauh, masih lebih baik dari si B dan si D kok. Wajar si A selalu excellent, A tidak sesibuk diriku”.
Sudah semestinya kita membacklist pleidoi tersebut, menggantinya dengan seruan baru;  “perkataan ini bukanlah tentang mereka atau aku yang lebih baik, tapi tinta peradaban yang telah menuliskan bahwa aku adalah generasi terbaik di universitas ini yang lahir dan besar dari organisasi ini.”


Aku harus bagaimana atau kamu yang bagaimana?
Sebelum mengampu hal lain, ada baiknya kita kembali mencerna Q.S Al-Ashr ayat 1-3:
“Demi Masa [1].Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian [2],kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran [3].”
Secara khusus dan mendalam,di satu surah ini Allah SWT ‘mengingatkan’ kita akan pentingnya waktu, meskipun pada beberapa ayat di surah lain telah disinggung namun pengkhususan ini tentu menjadi hal krusial bagi kita, khalifahNya yang bertebaran di muka bumi. Kaitannya dengan pembahasan kita saat ini adalah tentang bagaimana kita memposisikan diri sebagai seorang muslim [yang] tengah berjuang pada dua prioritas hidup sebagai Intelektual muda, sosok leader masa depan bangsa tercinta ini.
Ada banyak hal yang harus dan harus terus kita evaluai seiring dengan semakin bertambahnya amanah hidup di usia kita masing-masing, seiring dengan kesibukan kita pada berbagai lini kehidupan. Sedikit dari sekian banyak korelasi Q.S Al-Ashr diatas, disebutkan oleh saudara kita dibelahan dunia yang berbeda, tentang waktu:

"Sebenarnya, yang menjadi masalah bukan sesibuk apa kalian, melainkan untuk apa kalian sibuk. Lebah di puji dan nyamuk pun ditepuk." [Mary O'conner]

Pada akhirnya, bosan atau lalai kuliah adalah satu dari sekian banyak pertanyaan tentang bagaimana waktu yang kita habiskan.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Q.S Ali Imran:110]”

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).[Q.S Yunus: 61]”

Wallahualam, 
Semoga menambah kebermanfaatan untuk kita bersama.