Selasa, 26 Februari 2013

MENANG PEMILU, PILKADA : "BENARKAH KEMENANGAN DAKWAH?"

Sebagian aktifis dakwah menganggap bahwa kemenangan di pesta demokrasi (pemilu/pilkada) merupakan tolak ukur dari sebuah kemenangan dalam berdakwah. Asumsinya, pemilu menjadi artikulasi politik masyarakat yang korelatif  dengan seberapa besar sebuah konsepsi dan orientasi politik sebuah parpol (partai politik) mendapatkan tempat di hati masyarakat. Jika menang, berarti aktivitas politik ketika terjun ke masyarakat berhasil, dan hal tersebut ditandai dengan dukungan dan partisipasi yang teragregasi dalam wujud kemenangan pemilu/pilkada.
Persepsi dan asumsi tersebut jelas mengandung karancuan dan peluang kesalahan. Dalam realitas politik, bisa saja sebuah parpol bekerja maksimal untuk hadir ditengah masyarakat dan melakukan kewajiban politik parpol sebagaimana mestinya. Dampaknya adalah kepercayaan masyarakat kepada parpol menjadi saluran dan representasi untuk mengadvokasi kepentingan masyarakat. Dalam pakem mekanisme demokrasi, perolehan suara parpol baik untuk kepentingan pemilihan parlemen (legislative) maupun eksekutif jika menang bisa diklaim sebagai kemenangan parpol. Dan terkadang dengan bahasa klise diklaim sebagai kemenangan rakyat.
Dalam kontek dakwah yang dilakukan oleh parpol intra-parlementer, maka klaim kemenangan diatas  rancu dan berpeluang salah. Tidak jarang sebuah awal langkah di anggap puncak dan akhir langkah pencapaian. Karenanya hakikat kemenangan dakwah tidaklah bisa dinilai dengan tolak ukur kemenangan di pemilu ataupun di pilkada semata, namun juga tolak ukurnya adalah sejauh mana masyarakat menjadi sadar dan faham akan tujuan dari dakwah yang diemban oleh parpol itu sendiri. Dan sejauh mana parpol yang meraih kemenangan tersebut bisa merealisasikan target-target politiknya (ghoyah antara). Dan puncaknya bagi dakwah yang dipikul oleh parpol adalah sejauhmana bisa mengembalikan kehidupan sosial politik diatas jalan tauhid yang diajarkan dan diperintahkan al Qur’an dan as Sunnah.
Penyempitan tolak ukur cukup berbahaya karena umat ataupun masyarakat secara umum semakin terbius oleh praktik dakwah yang bersifat islahiy (dengan target perubahan artificial/kulit), bisa melenakan masyarakat atas akar persoalan yang mendera umat secara keseluruhan.



Dakwah Pragmatis (Waqi’iyun) vs Dakwah Ideologis (Mabda’i)
Ibarat menjadi seorang dokter, maka ketika dokter hendak mengobati seorang pasien, ia harus mendiagnosis terlebih dulu apa penyebab utama penyakit sang pasien. Dokter “tidak boleh salah” diagnosanya. Sebab, kesalahan dilevel ini akan berdampak kesalahan prognosanya (langkah medis berikutnya). Akibatnya, pasien bukan sembuh dari sakitnya, tapi bisa mati tragis, atau penyakitnya makin kronis dan  komplikasi.
Kesalahan identifikasi terhadap persoalan umat Islam juga akan mengakibatkan kesalahan pada penentuan tujuan (target) dan metode dakwah, konsentrasi amal, persiapan-persiapan, serta perkara-perkara cabang lainnya. Dengan kata lain, kesalahan dalam perkara ini akan berimplikasi pada langkah-langkah selanjutnya.
Untuk itu, pengkajian terhadap persoalan utama kaum Muslim harus dilakukan dengan teliti. Dengan itu, upaya yang dilakukan oleh gerakan dakwah Islam bisa benar-benar menyelesaikan akar masalah sesungguhnya. Dengan itu pula, gerakan-gerakan Islam tidak memboroskan waktu dan energi umat pada perjuangan-perjuangan yang sebenarnya tidak menyentuh substansi dasar permasalahan umat.
Kalau kita melihat mereka yang mencoba mengurai persoalan umat, setidaknya ada dua arus gerakan (dengan dikotomi intra-parlemen dalam dan ekstra-parlemen). Pertama yang disebut dengan gerakan dakwah pragmatis-praktis, dan yang kedua gerakan dakwah ideologis.
Dakwah pragmatis adalah dakwah yang menyadari kerusakan fakta yang ada dalam kehidupan umat, menyadari pula kewajiban untuk merubahnya, tetapi dakwahnya langsung fokus kepada langkah aksi dan paradigma pemikirannya tidak menjangkau sampai ranah hakikat permasalahan pokok dan utama yang menimpa masyarakat. Langkah aksi itu dilakukan minus kesiapan konsepsi yang bisa hantarkan kepada kebangkitan. Akhirnya gerakan itu dalam ruang siklus aksi praktis dan pragmatis. Dan berputar-putar disitu-situ saja tanpa, membawa pengaruh perubahan kulit dan tidak mendasar. Sebuah aksi yang berputar dan mengalir seiring dengan persoalan-persoalan baru yang terus bermunculan dan berkembang yang sejatinya persoalan tersebut adalah akibat dari akar persoalan yang tidak terpecahkan. Sehingga dengan aksi-aksi yang dilakukan tersebut, mereka telah merasa melakukan kerja nyata, tidak hanya sebatas melakukan aksi berupa wacana atau sebatas konsep saja.
Harusnya sebagai sebuah gerakan dakwah ketika menetapkan usaha-usaha untuk meraih perubahan, mau tidak mau harus melihat dengan jeli fakta dari sebuah perubahan yang hendak diraih.Kebutuhan krusial untuk memahami akar persoalan keumatan dan mengkontruksi perubahan yang diidealkan. Penginderaan yang tepat pada sebuah permasalahan berpengaruh mutlak pada arah dan fokus agenda dari sebuah gerakan dakwah. Ini yang menjadi penyebab di antara sebab-sebab lain sehingga akan menjadi maksimal dan tidaknya arti dari sebuah perubahan yang diinginkan  sebuah gerakan dakwah.
Lain lagi dengan gerakan dakwah idelogis, yaitu dakwah yang menyadari realitas kerusakan yang ada dan keterbelakangan masyarakat. Ia akan melihat realitas permasalahan yang ada serta melakukan kajian secara mendalam tentang solusi yang bersifat fundamental/menyeluruh (taghyir al juduriy).
Karakter dakwah bersifat ideologis alamiyah akan berbenturan dengan pemikiran lama, perasaan kolektif masyarakat, peraturan-peraturan dan para aparaturnya (sistem yang sudah ada) dengan pemikiran yang di bawa oleh entitas gerakan ideologis. Sebuah pertarungan pemikiran dan politik benar-benar terjadi, baik dalam warna yang terang maupun terkadang masih “abu-abu”.
Akhirnya gerakan idelogis –sejak awal aktivitasnya- kerap dianggap asing dan membahayakan status quo.Sekalipun hakikatnya para pengemban dakwah ideologis diatas jalan yang benar (al haq). Sejarah selalu mencatat dengan baik episode pertarungan yang seolah tiada ujung itu.

Hakikat Kemenangan Dakwah
Kemenangan dakwah bukanlah sekedar sampainya orang Islam/parpol Islam ke tampuk kekuasaan. Apalah artinya orang Islam sampai ke tahta kekuasaan namun tidak menjalankan atau tidak menerapkan aturan Islam. Sangat masghul bagi banyak umat jika hafidz qur’an, ataupun hafal ratusan bahkan ribuah hadist, namun hal tersebut hanya menjadi hafalan saja. Contoh empirik umat bisa menyaksikan fenomena parlemen di Mesir. Sebagian kaum muslimin bangga dengan orang-orang Islam yang duduk di kursi parlemen Mesir tersebut. 25 % anggota parlemen Mesir adalah Hafidz qur’an. Diketahui bahwa para anggota dewan Parlemen Mesir terdiri  lebih dari 140 orang adalah hafizh  Al Quran, 100 orang lebih menghafal lebih dari 10 ribu hadits,  180 orang lebih telah hafal lebih dari 15 juz Al Quran. Namun pertanyaanya kemudian, apakah konstitusi negara mesir sekarang adalah syariat Islam?
Al Qur’an jelas bukan sekedar dibaca , tapi al Qur’an adalah pedoman hidup yang harus diamalkan . Bersama As Sunnah , Al Qur’an menjadi sumber hukum syariah Islam. Menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup berarti menjadikan syariah Islam sebagai pengatur kehidupan kita dalam seluruh aspek kehidupan. Lagi-lagi muaranya adalah syariah Islam.
Sungguh dipertanyakan muslim yang banyak membaca Al Qur’an atau bahkan menjadi hafidz, kemudian  mengatakan Al Qur’an sebagai pedoman hidup , namun tidak mau diatur oleh syariah Islam. Padahal Syariah Islam merupakan pedoman hidup yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Sistem kapitalisme bisa tegak karena ada negara yang menerapkannya. Sosialisme bisa aplikatif juga karena ada negara yang menerapkannya. Sistem Islam yang sempurna dan komprehensif tentu juga tidak akan aplikatif kalau tidak ada negara yang menerapkannya. Syariat dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan, dan dalam Islam sendiri  institusi managerial (negara) ditetapkan sebagai salah satu hukum pokok (method) untuk mengoperasionalkan seluruh piranti solusi secara utuh dalam sebuah bangunan sistem sosial politik yang dikenal sistem Khilafah Islamiyah.
Kemenangan dakwah adalah tatkala dakwah itu sendiri berhasil menyadarkan umat akan akar penyebab (root cause)  terhadap persoalan yang mendera umat Islam. Dimana persoalan yang mendera umat Islam menimpa dari berbagai sisi, mulai dari masalah ekonomi, sosial budaya, hukum dan lainnya, semuanya membelenggu dan terintegrasi timbal balik dala diri umat. Penting sekali merubah mindset atau pola berfikir umat, menjelaskan ke mereka bahwa penyebab dari semua penderitaan ini terjadi karena tidak diterapkannya syariah Islam di dalam kehidupan. Sehingga umat menjadi sadar dan faham, sehingga dengannya kemudian masyarakat akan memiliki satu pemahaman, satu perasaan tentang akar masalah dan top solusinya. Umat butuh kehadiran institusi managerial (negara) yakni sistem daulah Khilafah Islamiyah sebagai target puncak (ghoyah utama) bagi gerakan dakwah, karena ia sebagai satu-satunya metode untuk mewujudkan kehidupan Islam. Sebuah kehidupan yang semua pranata sosial politiknya bersumberkan Alqur’an dan As Sunnah berdiri tegak di atas kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah”.
Lebih eksplisit, hakikat dari sebuah kemenangan dakwah adalah tatkala sampainya Islam ke kekuasan, sehingga dengan kekuasaan tersebut, syariat Islam yang di buat oleh Dzat Yang Maha Tahu akan kebutuhan manusia di dunia dapat diterapkan. Dengan diterapkannya syariah Islam, maka kesejahteraan dan keadilan akan bisa terwujud, tanpa syariah Islam, keadilan dan kesejahteraan hanyalah akan menjadi pepesan kosong, kecuali yang dimaksud sejahtera dan adil itu adalah untuk segelintir elit politik yang memang haus akan harta dan kekuasaan.
Seperti potret kehidupan politik di Indonesia, episode kemenangan demi kemenangan di laga pemilu atau pilkada oleh parpol Islam sama sekali tidak kongkruen dengan perubahan dan tingkat kesejahteraan dan rasa keadilan masyarakat luas. Mereka berkuasa dengan atas nama rakyat, meraih tahta dengan bahasa agama dan “dupa” ketidakmengertian umat. Menggenggam jabatan dan kekuasaan melabelinya sebagai amanah rakyat, tapi waktu demi waktu membuktikan bahwa itu hanya retorika. Dan rakyat seperti menemukan lorong buntu, sekian parpol Islam belum pernah bisa memberikan jalan lempang untuk perubahan nasib mereka. Parpol Islam berputar mengikuti langgam dan pakem demokrasi, menjadi konduktor pemikiran dan perasaan masyarakat yang berujung kepada tumpulnya kesadaran bahwa yang dibutuhkan adalah perubahan revolusioner. Inilah potret buram yang sangat memprihatinkan.Lantas kemenangan mana yang patut dibanggakan? Adakah yang masih latah berani dengan lacut mengklaim kemenangan di pesta demokrasi nasional maupun lokal sejatinya adalah kemenangan dakwah?.
Sekarang ini yang terjadi adalah orang Islam sudah sampai di kekuasaan, namun Islam-nya itu masih ditinggalkan alias belum sampai.Moga satu prespektif tentang “kemenangan” ini mendorong lahirnya sikap jujur dan berani muhasabah diri bagi para pengemban dakwah Islam dengan baragam wajahnya.
Wallohualam bis sawabb.

Jumat, 15 Februari 2013

Apa iya PKS Di-bully?





Jakarta, 15 Februari 2013
WIJAYA, ST

Meskipun pusaran berita tidak lagi bertumpu pada pemberitaan PKS, namun berita tentang PKS masih saja menjadi berita yang seksi untuk dibicarakan. Tengoklah semalam sebuah acara di televisi yang memuat tentang kekayaan Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminudin. Lantas muncul pertanyaan benarkah PKS dibulli oleh media?.
untuk menjawab itu, lebih baik jika dipahami dahulu pengertian  bullying dan aspek-aspeknya. Menurut ahli-ahli yang serius bergulat dengan bullying ini, seperti Olweus, Craig, Newman mereka mengartikan perilaku bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan terus-menerus, dilakukan oleh pihak yang memiliki power lebih, dengan tujuan menyakiti. Mengenai macamnya, bullying dapat terbagi ke dalam banyak macam seperti school bullying, workplace bullying, sport bullying, dan political bullying.  jenis perilakunya dapat berupa agresi fisik, agresi verbal, pengucilan, dancyber bullying.

Siapa saja yang terlibat dalam perilaku bullying:
1. pelaku
Pelaku adalah orang yang memiliki power yang lebih kuat dari korbannya. pada kasus-kasus yang bersifat individual biasanya pelaku ini adalah korban pada awalnya. jadi kaalu ada orang yang terbiasa mencela, mengumpat, atau bahkan agresi fisik lainnya maka dapat diduga bahwa pelaku ini dulu pernah mengalami hal serupa. Secara psikologis pelaku sebenarnya memliki kepribadian insecure (tidak aman). Motif pelaku bermacam-macam, dari kepuasan pribadi sampai pada keuntungan finansial.
2. korban
korban adalah pihak yang dirugikan oleh perilaku agresif yang dilakukan orang lain. biasanya korban cenderung tidak berani melawan, kurang sumberdaya, dan kurang asertif. kenapa dia terus menjadi korban? disebabkan kurang equalnya kekuatan antara pelaku dan korban.
3. penonton
Perilaku bullying tidak bisa dilepaskan dari penonton. penonton menjadikan pelakubullying mendapatkan perhatian, sehingga dia akan terus menerus melakukan perilakubullying karena ada yang memperhatikan. celakanya, penonton ini akan cenderung menjadi temannya pelaku. kenapa? karena untuk menghindari dijadikan korban berikutnya.
dengan sedikit teori tentang bullying tersebut coba kita analisis pada kasus PKS.pertama, kita mengajukan pertanyaan dari sudut pandang definisi. Benarkan PKS mendapat perilaku agresif secara terus-menerus, dilakukan oleh pihak dengan power yang lebih, dengan tujuan menyakiti? Pemberitaan miring mengenai PKS baik oleh media atau oleh gerakan islam yang lainya bisa anda tengok dengan mudah jika anda ketikkan pada mesin pencari. pemberitaan tentang PKS mulai santer pasca pemilu 2004 karena tidak segera mendukung amin rais menjadi presiden waktu itu sampai sekarang dan puncaknya pada ditangkapnya LHI dalam tuduhan perkara suap Impor daging sapi.  PKS tidak memiliki media yang dapat melawan pemberitaan media kecuali memelui jejaring sosial. Majalah SAKSI yang dulu mereka miliki tidak terbit lagi. dalam kasus ini terjadi imbalance power. Apakah tujuannya menyakiti PKS? anda dapat menjawabnya sendiri.
pertayaan kedua, apakah perilaku menyudutkan partai politik dapat disebut sebagaibullying? menelaah dari macam-macam bullying yang disebutkan di atas maka hal ini termasuk dalam kategori political bullying. Tipe agresi yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan verbal dan cyber bullying.
pertanyaan ketiga, apakah memenuhi ketiga unsurnya yakni pelaku, korban dan penonton? prespektif untuk melihat ini mudah. Apakah berita tentang PKS memiliki rating yang tinggi di media? jika jawabannya benar maka penonton memiliki andil yang besar untuk terjadinya perilaku bullying ini.

Dengan mengajukan ketiga kerangka di atas maka saya sebagai pemerhati bullying menyimpulkan bahwa adalah benar PKS menjadi korban bullying dalam konteks pemberitaan media.  lalu apa sebaiknya yang dilalukan PKS  jika kemudian mereka merasa menjadi korban. Dalam kamus penanganan bullying akan kita temui bahwa salah satu cara untuk keluar dari perilaku bullying adalah “stand up, dan speak up“. PKS harus mengupayakan memiliki media tandingan, memiliki tim counterattack, menggunakan simpul-simpul dan kadernya untuk melakukan “perlawanan” terhadap pemberitaan yang tendensius.