Persepsi dan asumsi
tersebut jelas mengandung karancuan dan peluang kesalahan. Dalam
realitas politik, bisa saja sebuah parpol bekerja maksimal untuk hadir
ditengah masyarakat dan melakukan kewajiban politik parpol sebagaimana
mestinya. Dampaknya adalah kepercayaan masyarakat kepada parpol menjadi
saluran dan representasi untuk mengadvokasi kepentingan masyarakat.
Dalam pakem mekanisme demokrasi, perolehan suara parpol baik untuk
kepentingan pemilihan parlemen (legislative) maupun eksekutif jika
menang bisa diklaim sebagai kemenangan parpol. Dan terkadang dengan
bahasa klise diklaim sebagai kemenangan rakyat.
Dalam
kontek dakwah yang dilakukan oleh parpol intra-parlementer, maka klaim
kemenangan diatas rancu dan berpeluang salah. Tidak jarang sebuah awal
langkah di anggap puncak dan akhir langkah pencapaian. Karenanya hakikat
kemenangan dakwah tidaklah bisa dinilai dengan tolak ukur kemenangan di
pemilu ataupun di pilkada semata, namun juga tolak ukurnya adalah
sejauh mana masyarakat menjadi sadar dan faham akan tujuan dari dakwah
yang diemban oleh parpol itu sendiri. Dan sejauh mana parpol yang meraih
kemenangan tersebut bisa merealisasikan target-target politiknya
(ghoyah antara). Dan puncaknya bagi dakwah yang dipikul oleh parpol
adalah sejauhmana bisa mengembalikan kehidupan sosial politik diatas
jalan tauhid yang diajarkan dan diperintahkan al Qur’an dan as Sunnah.
Penyempitan
tolak ukur cukup berbahaya karena umat ataupun masyarakat secara umum
semakin terbius oleh praktik dakwah yang bersifat islahiy (dengan target
perubahan artificial/kulit), bisa melenakan masyarakat atas akar
persoalan yang mendera umat secara keseluruhan.
Dakwah Pragmatis (Waqi’iyun) vs Dakwah Ideologis (Mabda’i)
Ibarat
menjadi seorang dokter, maka ketika dokter hendak mengobati seorang
pasien, ia harus mendiagnosis terlebih dulu apa penyebab utama penyakit
sang pasien. Dokter “tidak boleh salah” diagnosanya. Sebab, kesalahan
dilevel ini akan berdampak kesalahan prognosanya (langkah medis
berikutnya). Akibatnya, pasien bukan sembuh dari sakitnya, tapi bisa
mati tragis, atau penyakitnya makin kronis dan komplikasi.
Kesalahan
identifikasi terhadap persoalan umat Islam juga akan mengakibatkan
kesalahan pada penentuan tujuan (target) dan metode dakwah, konsentrasi
amal, persiapan-persiapan, serta perkara-perkara cabang lainnya. Dengan
kata lain, kesalahan dalam perkara ini akan berimplikasi pada
langkah-langkah selanjutnya.
Untuk
itu, pengkajian terhadap persoalan utama kaum Muslim harus dilakukan
dengan teliti. Dengan itu, upaya yang dilakukan oleh gerakan dakwah
Islam bisa benar-benar menyelesaikan akar masalah sesungguhnya. Dengan
itu pula, gerakan-gerakan Islam tidak memboroskan waktu dan energi umat
pada perjuangan-perjuangan yang sebenarnya tidak menyentuh substansi
dasar permasalahan umat.
Kalau kita
melihat mereka yang mencoba mengurai persoalan umat, setidaknya ada dua
arus gerakan (dengan dikotomi intra-parlemen dalam dan ekstra-parlemen).
Pertama yang disebut dengan gerakan dakwah pragmatis-praktis, dan yang
kedua gerakan dakwah ideologis.
Dakwah
pragmatis adalah dakwah yang menyadari kerusakan fakta yang ada dalam
kehidupan umat, menyadari pula kewajiban untuk merubahnya, tetapi
dakwahnya langsung fokus kepada langkah aksi dan paradigma pemikirannya
tidak menjangkau sampai ranah hakikat permasalahan pokok dan utama yang
menimpa masyarakat. Langkah aksi itu dilakukan minus kesiapan konsepsi
yang bisa hantarkan kepada kebangkitan. Akhirnya gerakan itu dalam ruang
siklus aksi praktis dan pragmatis. Dan berputar-putar disitu-situ saja
tanpa, membawa pengaruh perubahan kulit dan tidak mendasar. Sebuah aksi
yang berputar dan mengalir seiring dengan persoalan-persoalan baru yang
terus bermunculan dan berkembang yang sejatinya persoalan tersebut
adalah akibat dari akar persoalan yang tidak terpecahkan. Sehingga
dengan aksi-aksi yang dilakukan tersebut, mereka telah merasa melakukan
kerja nyata, tidak hanya sebatas melakukan aksi berupa wacana atau
sebatas konsep saja.
Harusnya sebagai
sebuah gerakan dakwah ketika menetapkan usaha-usaha untuk meraih
perubahan, mau tidak mau harus melihat dengan jeli fakta dari sebuah
perubahan yang hendak diraih.Kebutuhan krusial untuk memahami akar
persoalan keumatan dan mengkontruksi perubahan yang diidealkan.
Penginderaan yang tepat pada sebuah permasalahan berpengaruh mutlak pada
arah dan fokus agenda dari sebuah gerakan dakwah. Ini yang menjadi
penyebab di antara sebab-sebab lain sehingga akan menjadi maksimal dan
tidaknya arti dari sebuah perubahan yang diinginkan sebuah gerakan
dakwah.
Lain lagi dengan gerakan
dakwah idelogis, yaitu dakwah yang menyadari realitas kerusakan yang ada
dan keterbelakangan masyarakat. Ia akan melihat realitas permasalahan
yang ada serta melakukan kajian secara mendalam tentang solusi yang
bersifat fundamental/menyeluruh (taghyir al juduriy).
Karakter
dakwah bersifat ideologis alamiyah akan berbenturan dengan pemikiran
lama, perasaan kolektif masyarakat, peraturan-peraturan dan para
aparaturnya (sistem yang sudah ada) dengan pemikiran yang di bawa oleh
entitas gerakan ideologis. Sebuah pertarungan pemikiran dan politik
benar-benar terjadi, baik dalam warna yang terang maupun terkadang masih
“abu-abu”.
Akhirnya gerakan idelogis
–sejak awal aktivitasnya- kerap dianggap asing dan membahayakan status
quo.Sekalipun hakikatnya para pengemban dakwah ideologis diatas jalan
yang benar (al haq). Sejarah selalu mencatat dengan baik episode
pertarungan yang seolah tiada ujung itu.
Hakikat Kemenangan Dakwah
Kemenangan
dakwah bukanlah sekedar sampainya orang Islam/parpol Islam ke tampuk
kekuasaan. Apalah artinya orang Islam sampai ke tahta kekuasaan namun
tidak menjalankan atau tidak menerapkan aturan Islam. Sangat masghul
bagi banyak umat jika hafidz qur’an, ataupun hafal ratusan bahkan ribuah
hadist, namun hal tersebut hanya menjadi hafalan saja. Contoh empirik
umat bisa menyaksikan fenomena parlemen di Mesir. Sebagian kaum muslimin
bangga dengan orang-orang Islam yang duduk di kursi parlemen Mesir
tersebut. 25 % anggota parlemen Mesir adalah Hafidz qur’an. Diketahui
bahwa para anggota dewan Parlemen Mesir terdiri lebih dari 140 orang
adalah hafizh Al Quran, 100 orang lebih menghafal lebih dari 10 ribu
hadits, 180 orang lebih telah hafal lebih dari 15 juz Al Quran. Namun
pertanyaanya kemudian, apakah konstitusi negara mesir sekarang adalah
syariat Islam?
Al Qur’an jelas bukan
sekedar dibaca , tapi al Qur’an adalah pedoman hidup yang harus
diamalkan . Bersama As Sunnah , Al Qur’an menjadi sumber hukum syariah
Islam. Menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup berarti menjadikan
syariah Islam sebagai pengatur kehidupan kita dalam seluruh aspek
kehidupan. Lagi-lagi muaranya adalah syariah Islam.
Sungguh
dipertanyakan muslim yang banyak membaca Al Qur’an atau bahkan menjadi
hafidz, kemudian mengatakan Al Qur’an sebagai pedoman hidup , namun
tidak mau diatur oleh syariah Islam. Padahal Syariah Islam merupakan
pedoman hidup yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Sistem
kapitalisme bisa tegak karena ada negara yang menerapkannya. Sosialisme
bisa aplikatif juga karena ada negara yang menerapkannya. Sistem Islam
yang sempurna dan komprehensif tentu juga tidak akan aplikatif kalau
tidak ada negara yang menerapkannya. Syariat dan kekuasaan tidak bisa
dipisahkan, dan dalam Islam sendiri institusi managerial (negara)
ditetapkan sebagai salah satu hukum pokok (method) untuk
mengoperasionalkan seluruh piranti solusi secara utuh dalam sebuah
bangunan sistem sosial politik yang dikenal sistem Khilafah Islamiyah.
Kemenangan dakwah adalah tatkala dakwah itu sendiri berhasil menyadarkan umat akan akar penyebab (root cause)
terhadap persoalan yang mendera umat Islam. Dimana persoalan yang
mendera umat Islam menimpa dari berbagai sisi, mulai dari masalah
ekonomi, sosial budaya, hukum dan lainnya, semuanya membelenggu dan
terintegrasi timbal balik dala diri umat. Penting sekali merubah mindset
atau pola berfikir umat, menjelaskan ke mereka bahwa penyebab dari
semua penderitaan ini terjadi karena tidak diterapkannya syariah Islam
di dalam kehidupan. Sehingga umat menjadi sadar dan faham, sehingga
dengannya kemudian masyarakat akan memiliki satu pemahaman, satu
perasaan tentang akar masalah dan top solusinya. Umat butuh kehadiran
institusi managerial (negara) yakni sistem daulah Khilafah Islamiyah
sebagai target puncak (ghoyah utama) bagi gerakan dakwah, karena ia
sebagai satu-satunya metode untuk mewujudkan kehidupan Islam. Sebuah
kehidupan yang semua pranata sosial politiknya bersumberkan Alqur’an dan
As Sunnah berdiri tegak di atas kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah”.
Lebih
eksplisit, hakikat dari sebuah kemenangan dakwah adalah tatkala
sampainya Islam ke kekuasan, sehingga dengan kekuasaan tersebut, syariat
Islam yang di buat oleh Dzat Yang Maha Tahu akan kebutuhan manusia di
dunia dapat diterapkan. Dengan diterapkannya syariah Islam, maka
kesejahteraan dan keadilan akan bisa terwujud, tanpa syariah Islam,
keadilan dan kesejahteraan hanyalah akan menjadi pepesan kosong, kecuali
yang dimaksud sejahtera dan adil itu adalah untuk segelintir elit
politik yang memang haus akan harta dan kekuasaan.
Seperti
potret kehidupan politik di Indonesia, episode kemenangan demi
kemenangan di laga pemilu atau pilkada oleh parpol Islam sama sekali
tidak kongkruen dengan perubahan dan tingkat kesejahteraan dan rasa
keadilan masyarakat luas. Mereka berkuasa dengan atas nama rakyat,
meraih tahta dengan bahasa agama dan “dupa” ketidakmengertian umat.
Menggenggam jabatan dan kekuasaan melabelinya sebagai amanah rakyat,
tapi waktu demi waktu membuktikan bahwa itu hanya retorika. Dan rakyat
seperti menemukan lorong buntu, sekian parpol Islam belum pernah bisa
memberikan jalan lempang untuk perubahan nasib mereka. Parpol Islam
berputar mengikuti langgam dan pakem demokrasi, menjadi konduktor
pemikiran dan perasaan masyarakat yang berujung kepada tumpulnya
kesadaran bahwa yang dibutuhkan adalah perubahan revolusioner. Inilah
potret buram yang sangat memprihatinkan.Lantas kemenangan mana yang
patut dibanggakan? Adakah yang masih latah berani dengan lacut mengklaim
kemenangan di pesta demokrasi nasional maupun lokal sejatinya adalah
kemenangan dakwah?.
Sekarang
ini yang terjadi adalah orang Islam sudah sampai di kekuasaan, namun
Islam-nya itu masih ditinggalkan alias belum sampai.Moga satu prespektif
tentang “kemenangan” ini mendorong lahirnya sikap jujur dan berani
muhasabah diri bagi para pengemban dakwah Islam dengan baragam wajahnya.Wallohualam bis sawabb.