Membicarakan Islam dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan memang
sangat menarik. Beragam perdebatan mengenai negara
Islam yang telah mencuat sejak dua abad silam, pergumulan argumentasi
mengenai nasionalisme dan Islam, atau pertengkaran para pemikir
mengenai Islam dan demokrasi telah membentuk sebuah ruang
yang begitu luas untuk bercengkerama mengenai konsepsi Islam dalam memandang
soal-soal sosial dan politik.
Pada perkembangannya, muncul perdebatan dalam memandang format
Islam dalam memandang masalah-masalah kemasyarakatan. Perdebatan tersebut
terjadi karena adanya tafsir yang berbeda mengenai ajaran Islam seputar
muamalah dan siyasah. Setidaknya, perdebatan tersebut dapat kita pandang ke
dalam dua spektrum pemikiran.
Pertama, kalangan yang
memandang bahwa Islam harus integral dengan negara. Kalangan ini berpendapat,
Islam memiliki komprehensivitas dan kompleksitas dalam membahas soal-soal
kemasyarakatan, sehingga penerapan ajaran Islam pun harus integral ke dalam
sebuah lembaga yang bernama negara. Pendeknya, Islam adalah negara dan negara
harus ditegakkan berdasarkan ajaran-ajaran Islam secara formal.
Kedua, kalangan yang
memandang bahwa Islam tidak harus diejawantahkan dalam wajah negara, tetapi
negara yang ideal adalah negara yang menjalankan nilai-nilai Islam secara
substantif. Menurut pendekatan ini, negara yang ideal tidak harus negara Islam
yang secara legal-formal menggunakan Islam sebagai simbol, tetapi pemaknaan dan
implementasi dari kebijakan publik yang dihasilkan harus sesuai dengan
substansi dari ajaran Islam. Simbolnya bisa saja berupa demokrasi atau
republik, tetapi substansinya adalah Islam. Dengan kata lain, negara tidak
harus bersimbol Islam, tetapi dasar negara adalah substansi dari ajaran-ajaran
Islam tersebut.
Dua spektrum pemikiran tersebut kemudian melahirkan perdebatan
seputar konsep kebangsaan dan kenegaraan dalam Islam. Titik tekan yang coba
penulis ulas dalam esai ini adalah bahwa konsepsi bangsa
memiliki ruang dan dimensi tersendiri dalam Islam. Ditilik dari perspektif
historis, sosial, dan politik, bangunan negara
dalam Islam selalu diawali oleh adanya kesatuan bangsa yang begitu kompleks.
Islam tidak
menetapkan bentuk negara untuk manusia, tetapi Islam lebih mendorong manusia
untuk membentuk suatu masyarakat (society). Ahmad Muhammad Jamal dalam
bukunya fikrah al-Daulah fi al-Islam mengatakan bahwa
Islam tidak menyusun bentuk negara yang jelas,
tidak pula menyebutkan rinciannya. Agama Islam hanya meletakkan beberapa
prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi
oleh ruang maupun waktu. Demikian pula yang dikatakan Qomaruddin Khan dalam al-Mawardi’s
Theory of the Stateberpendapat, tujuan al-Quran bukanlah menciptakan sebuah
negara, melainkan sebuah masyarakat. Tidak ada bentuk negara baku dalam
Islam membawa hikmah sendiri. Jika di dalammnya terbentuk sebuah
masyarakat Qurani, maka itupun sudah merupakan tanda-tanda negara
Islam. Dengan tidak adanya penjelasan rinci merupakan rahmat besar
bagi kaum muslim, karena hal ini memungkinkan Islam untuk mengikuti
kemajuan jaman dan menyesuaiakan diri terhadap kondisi
dan lingkungan baru.
Dalam Islam,
masyarakat terbentuk diakibatkan adanya kecendrungan manusiawi
antara manusia untuk berkumpul dalam memenuhi kebutuhan yang diakibatkan oleh
pemahaman bersama tentang masalah hidup. Kata lain dari masyarakat dalam
terminologi Islam adalah ummat, yang merupakan padanan yang universal untuk
menegaskan eksistensi masyarakat Islam. Menurut Istiyaque Danish, dalam The
Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State, prinsip dasar
yang menjadikan ummat adalah pengakuan atas adanya Allah dan Muhammad saw
sebagai utusan Allah. Sedangkan negara merupakan kesatuan
masyarakat yang menyatakan secara formal batas-batas aturan yang mengikat, yang
diakui oleh masyarakat di dalam ataupun di luar negara tersebut dikarenakan
adanya bermacam alasan, misalnya adanya kesamaan sejarah. Negara merupakan
wujud dari hasil aktivitas masyarakat oleh karena itu negara lebih bersifat
statis, sedangkan masyarakat lebih bersifat aktif, karena terbentuknya
masyarakat lebih merupakan suatu proses kegiatan manusia untuk mendapatkan
tujuan yang ia capai, kebahagiaan.
Terbentuk
negara Islam merupakan derifasi dari kesadaran masyarakat membangun masyarakat
yang bertumpu pada pilar-pilar tauhid. Maka dalam Islam terbentuknya negara
Islam berawal dari terbentuknya karakter tauhidi masyarakat lebih dulu. Menurut Ismail al-Faruqi dalam the
Nature of Ummah, yang berjudul Tauhid, Its Implications for
Thought and Life, iman, syariah, ibadah dan akhlaq meruapakan
unsur kemasyarakatan. Sedangkan keimanan menjadi indentitas
masyarakat Islam secara universal dan diakui khususannya. Bila masyarakat tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam maka akan sulit menjadikan masyarakat maju
secara utuh.
Cermin
kepemimpinan
Maka dalam
membentuk negara Islam harus di awali dengan membentuk masyarakat Islam lebih
dahulu. Dalam sejarah Islam, terbentuknya masyarakat berhubungan dengan
unsur kepemimpnan di dalam masyarakat tersebut. Karakter kepemimpinan
mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang komitmennya terhadap keadilan,
kejujuran, kesederhanan dan lain sebagainya. Dimasa awal
pemerintahan Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar, Umar bi Khattab, Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib atau khulafaurrashidin hubungan antara
pemimpin dan masyarakat menunjukkan pola kehidupan masyarakat negara yang
mempunyai etos Islam.
Kepemimpinan
pada masa itu sebagai amanat yang harus dipikul. Sebagaimana dikisahkankan
ketika Umar diangkat pemimpin di hadapan rakyat Madinah, “Hai rakyatku, awasilah agar aku menjalankan
pemerintahan dengan hati-hati. Aku bukanlah terbaik di antara kalian , aku
membutuhkan nasehat dan bantuan kalian. Jika akau benar dukunglah
aku jika aku salah tegurlah aku. Mengatakan yang benar kepada
orang yang ditunjukan untuk memerintah merupakan
kesetiaan yang tulus; menyembunyikan adalah pengkhianatan . Menurut
pandanganku, yang kuat dan yang lemah adalah aman, kepada keduanya aku
ingin berbuat adil. Bila aku taat kepada Allah dan rasulnya taatlah
kepadaku, jika aku mengabaikan hukum Allah dan perintah Rasul aku
tidak lagi berhak aku kalian taati”.
Untuk
menjadi pemimpin tidak diperlukan sejumlah pengaruh baik
posisi atau materi yang digunakankan untuk mendapatkan kekuasaan.
Diriwayatakan oleh Aisyah ra pada saat Abu Bakar ra terpilih beliau mengatakan,
“Rakyatku telah mengetahui yang
sebenarnya bahwa hasil perdagangan ku tidak mencukupi kebutuhan
keluarga tetapi sekarang saya dipekerjakan untuk mengurus mereka”.
Sampai dalam kepemimpinannya Abu Bakar tidak memikirkan materi dan tidak pernah
meminta kenaikan gaji sampai pada akhirnya ditetapkan kenaikan gaji atas
kepemimpinan beliau kurang lebih antara 2.000 atau 2.500 dirham. Saat
mendekatai wafat Abu Bakar menanyakan berapa fasilitas yang telah
dinikmati selama kepemimpinanya. Diberitahukan bahwa fasilitas yang
diberikan kepadanya adalah seorang budak yang tugasnya
adalah memelihara anak-anak dan membersihkan pedang-pedang milik
kaum muslim, seekor unta membawa air dan sehelai kain
pakaian biasa. Abu Bakar memerintahkan untuk mengalikan semua
fasilitasnya tersebut kepada pemimpin pengantinya setelah beliau wafat. Ketika
Umar mengantikan tampuk kepemimpinan dan beritahukan tentang fasulitas yang
diberikan oleh Abu Bakar, Umar berkata, “Oh Abu Bakar Kamu membuat tugas dari
pengantimu menjadi sangat sulit”.
Sementara
kepemimpinan Umar sebagaimana dikatakan Thaha Husein dalam terjemahan bukunya
yang berbahasa Urdu al-Fitnat al-Kubrad, Umar sangat
tegas kepada rakyat dalam hal yang berkaitan dengan ke-Tuhanan, namun
terhadap diri sendiri ia lebih tegas lagi. Sepanjang sejarah manusia
kecuali nabi besar Muhammad saw, saya
belum menemukan manusia lain yang melihat bahaya
dirinya dari hal-hal yang umumnya dianggap tidak
membahayakannya: yang menyalahkan diri sendiri atas sesuatu
yang tidak dia perbuat; dan yang menetapkan disiplin ekstra
ketat terhadap diri sendiri yang mana tidak pernah
dilakukan oleh orang lain. Bukan rahasia lagi bahwa sewaktu terjadianya
bencana kelaparan di Amar Ramad dia melepaskan
segala sesuatu yang dimilki sebagai khalifah. Selanjutnya da
menjalani hidup susah dengan memakan makanan ala kadarnya. Begitu
mengetahui bahwa persediaan Ghil (mentega cair) dimasyarakat
sudah habis, di berhenti mengunakannya dan beralih ke minyak goreng.,
selanjutnya hanya memakan roti kering. Namun pengunaan minyak goreng pun dirasa
masing bertentangan dengan hati nuraninya, dan karena itu dia
menyuruh juru masanya untuk tidak menggunakannya.
Selain
seorang pemimpin dituntut memegang hukum sebagaimana dalam surat Umar
kepada gubernur Kufa sebagaimana dikemukakan Abu Musa Ash’ari dalam
tulisannya Shibli Nu’mani yang berjudul al-Farouq, “Perlakukanlah masyarakat secara
sama dalam hal keadilan sehingga golongan yang lemah bisa menerima keadialanmu
dan golongan yang kuat tidak mengharapkan keistimewaan darimu. Pihak penuntut
berhak mengajukan bukti dan pihak terdakwa berkhak untuk menyangkalnya.
Kompromi diijikan asal saja tidak menyalahi aturan dalam syariah. Jika engkau
kemarin mengambil keputusan dan telah kau pikir-pikir ternyata
kurang tepat, maka tidak ada salahnya engkau koreksi demi kepentingan hukum”.
Sikap
kepemimpinan yang sederhana pun tercermin dari sifat Ali. Dalam suatu riwayat
Ali menarik diri dari daftar peneriman dana dari perbendaharaan
negara (Baitul Mal) bahkan ia memberikan 5.000 dirham setiap
tahunnya ke Baitul Mal. Ali adalah seorang yang sederhana dalam menjalankan
keuangan negara. Suatu hari saudara nya Aqil datang meminta bantuan uang tetapi
Ali menolak karena sama saja mencuri uang milik masyarakat Walaupun dalam
kondiisi materi yang sangat minim keempat pemimpin Islam tersebut
mampu mensejahterakan rakyatnya. Mulai dari masa pemerintahan Umar bin Khattab
mulai diatur pemberian tunjangan kepada seluruh masyarakat dengan jumlah
berbeda-beda, berkisar antara 12.000 dirham sampai 2.000 dirham. Mulai dari
hazrat Aisyah dan Abbas paman Rasululullah saw, Istri-istri
Rasululullah saw selain Aisyah, Hazrat Ali, Hasan, Husein, pejuang Badar, bekas
pejuang-pejuang Uhud dan Migran ke Abyssinia, Muhajir dan
Muhajirat sebelum kemenangan Mekkah, Putra-putra bekas pejuang Badar; anak dari
Muhajirin dan Anshar, bahkan para budak diberi tunjangan. Pemberian tunjangan
dilakukan pemerintah sampai pemerintahan Abbasiyah
Bahkan
secara individual kekayaan para sahabat pada masa khulafaurrashidin sangat
besar. Pada masa Utsman bin Affan sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Khaldun
dalam Muqaddimah bahwa orang-orang di sekeliling Muhammad
memdapatkan fasilitas perumahan dan uang. Sedangkan pada
masa Utsman, uang sejumlah 50.000 dinar dan 100.000 dirham berada di
tangan bendaharanya. Perumahan yang dimiliki di Hunayn dan Qadi
al-Qura serta tempat-tempat lain bernilai 200.000 dinar. Dia
mewariskan 1000 kuda dan 1000 wanita pelayan. Penghasilan Talhah
dari Iraq mencapai angka 100 dinar sehari, dan pendapatnnya dari
wilayah ash-Shrah bahkan lebih banyak dari itu. Kandang milik Abdurahman bin
Auf berisi 1.000 kuda. Dia juga memiliki 1.000 unta dan 10.000 biri-biri. Nilai
seperempat lahan yang dia wariskan mencapai 84.000 dinar. Zaid bin
Tsabit mewariskan emas dan perak yang telah ditumpuk halus dengn beliung dan
bila ini ditambahkan dengan lahan dan kekayaannya yang lain nilainya bisa
mencapai 100.000 dinar. Az-Zubair memiliki kediamaan di Basra, Mesir,
al-Kufah dan Alexandaria.
Selain ini
merupakan konswensi dari nilai-nilai Islam bahwa kepemimpinan adalah amanah.
Amanah yang bisa diartikan suatu kepercayaan yang diberikan
masyarakat yang di berpedoman pada hukum Islam kepada sesosok figur yang
mempunyai kemampuan lebih dalam memimpin masyarakat bukan
kepercayaan di dasarkan atas faktor materi; uang atau yang lainnya. Oleh karena
itu perjanjian (akad) antara pemimpin kepada masyarakat secara tersirat
mengandung arti bahwa kepemimpin yang ia peroleh merupakan tanggung jawab yang
harus dipikul sebagai seorang yang di beri Allah SWT kemampuan lebih dalam
memimpin. Sehingga memimpin merupakan tangung jawab yang harus di pikulnya
sebagai orang yang mempunyai kelebihan, dan bertanggung jawabannya kepada Allah
yang memberikan kelebihan tersebut. Jika masyarakat menemukan
pemimpin yang lebih dari dia maka ia dengan suka rela akan mengundurkan diri.
Di dalam Surat Ar Ra’d ayat 11
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Allah telah berfirman tentang kebangkitan manusia, bangkitnya manusia tergantung pada landasan kehidupannya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan di dunia ini, begitu pula ketika kita ingin membangun sebuah masyarakat Islam, harus ada niat dan gerak kita untuk menuju terwujudnya masyarakat Islam tersebut, karena ini merupakan wilayah yang kita kuasai, untuk keberhasilan dari usaha kita itu adalah pertolongan dari Allah SWT dan ketika kita ada niat dan kesungguhan Insya Allah, Allah akan memberikan kemudahan terhadap perjuangan kita.
Allah telah berfirman tentang kebangkitan manusia, bangkitnya manusia tergantung pada landasan kehidupannya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan di dunia ini, begitu pula ketika kita ingin membangun sebuah masyarakat Islam, harus ada niat dan gerak kita untuk menuju terwujudnya masyarakat Islam tersebut, karena ini merupakan wilayah yang kita kuasai, untuk keberhasilan dari usaha kita itu adalah pertolongan dari Allah SWT dan ketika kita ada niat dan kesungguhan Insya Allah, Allah akan memberikan kemudahan terhadap perjuangan kita.
Ketika kita sudah memahami hakekat sebuah masyarakat
yang tidak hanya sebuah bangunan fisik belaka, ketika kita akan membangun
masyarakat yang Islami yaitu dengan pembinaan terhadap masyarakat dengan cara
berdakwah serta berinterakasi dengan umat sehingga nantinya akan melahirkan
sebuah pemikiran dan perasan yang Islami. Ketika masyarakat sudah faham dan
terbina dengan pemikiran dan perasaan Islam, selanjutnya adalah merealisasilkan
pemikiran dan perasaan islam tersebut dengan menerapkan peraturan Islam di
dalam sebuah masyarakat, karena hanya dengan peraturan Islam perasaan dan
pemikiran Islam akan tetap terjaga.
Sebuah masyarakat Islam juga tidak akan terlepas dari
sebuah sistem yang diterapkan di sebuah masyaraakat tersebut, karena sistem
yang akan menjadi pijakan untuk melaksanaan segala aturan yang ada di
masyarakat, oleh karena itu kalau sebuah masyarakat tetap mengadopsi
sistem demokrasi-sekuler terciptanya masyarakat islam akan tetap sia-sia karena
rakyat akan tergerak berdasarkan sistem yang diadopsi, dan solusinya tidak ada
cara lain selain mengantinya dengan sistem Islam dan sistem sebuah masyarakat
juga digerakkan sistem yang diadopsi oleh Negara, maka dari itu sebuah
masyarakat islam akan terwujud jika sistem yang diadopsi oleh Negara adalah
sistem Islam, yang akan tetap menjaga pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam
umat. Dalam hal ini Imam Gozali telah memaparkan : Agama itu merupakan pondasi
dan Negara itu penjaganya, jika sebuah Negara tidak ada pondasinya akan rapuh,
dan sebaliknya jika Agama tidak ada penjaganya akan hilang.
Wallahualam bis sawabb
Oleh :
WIJAYA – STT PLN JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar