Memperbincangkan tentang
ranah perbedaan antara kedua organisasi sosial keagaan, yakni NU dan
Muhammadiyah, bukan untuk menambah problem yang timbul sebagai akibat
perbedaan itu, melainkan justru sebaliknya, agar semakin mendekatkannya. Sebab ternyata dengan perbedaan itu, selain ada untungnya, dalam hal-hal tertentu, ternyata merugikan kedua belah pihak dan bahkan semuanya.
Salah satu contoh kecil kerugian itu adalah misalnya mengganggu silaturrahmi. Orang NU tidak begitu mudah diterima bekerja di lembaga Muhammadiyah, dan sebaliknya. Orang Muhammadiyah tidak mudah diterima di sebuah departemen, jika pimpinan departemen itu orang NU, dan juga sebaliknya. Padahal mencari tenaga professional kadang sangat sulit, namun masih dipersulit lagi oleh adanya perbedaan kultur atau organisasi keagamaan itu.
Jika hal demikian itu benar-benar terjadi, maka organisasi
sosial keagamaan tidak terlalu menguntungkan. Ukuran kualitas seseorang
menjadi bertambah dengan variabel yang tidak mudah dipenuhi. Misalnya,
disebut berkualitas jika berasal dari paham keagamaan yang sama. Dengan begitu maka, organisasi sosial keagamaan justru menjadi sebab terjadinya keputusan rasional tidak dijalankan. Akhirnya keadaannya menjadi aneh, mencari calon tukang potong rambut saja bisa dilakukan secara obyektif, ------- mencari yang ahli; sementara, mencari calon rektor misalnya, harus memilih yang sealiran. Padahal yang terpilih akhirnya belum tentu kualitasnya lebih baik.
Contoh seperti itu, ternyata di mana-mana terjadi dan cukup
banyak jumlahnya. Sebagai akibatnya, organisasi tidak berhasil
dijalankan secara obyektif, rasional , dan terbuka, sebagaimana tuntutan
organisasi modern. Organisasi menjadi tidak dinamis atau apalagi maju. Selain itu, pelayanan masyarakat menjadi tidak maksimal. Dampak negative itu akan dialami oleh masing-masing anggota organisasi yang bersangkutan, menjadi serba terbatas.
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya hanya berada pada ranah ritual saja. Lagi pula, aspek ritual itu juga tidak berada pada wilayah yang mendasar. Orang menyebutnya hanya pada aspek yang sifatnya cabang atau furu’. Perbedaan
itu hanya di seputar bagaimana ritual itu dijalankan. Misalnya, jamaáh
NU ketika shalat subuh melengkapi dengan qunut, sedangkan Muhammadiyah
tidak.
Selain itu, NU ketika shalat jumát, adzannya dua kali, sedangkan Muhammadiyah hanya sekali saja. NU setelah shalat fardhu berdzikir
bersama, sedangkan Muhajmmadiyah tidak. NU membiasakan membaca
puji-pujian menjelang shalat berjamaáh, sedangkan Muhammdiyah tidak.
Untuk menentuikan awal puasa atau mengakhirnya, Muhammadiyah lewat pendekatan hisab, sedangkan NU menggunakan rukyat. Hasilnya kadang sama, tetapi sekali-kali berbeda.
Persoalan ritual dalam Islam, sebenarnya adalah merupakan bagian kecil dari keseluruhan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, atau
dalam al Qurán itu sendiri. Dalam hal yang lebih luas, Islam mengajak
umatnya menjalani kehidupan ini secara sempurna, mengembangkan semua
aspek dalam dirinya. Islam mengajarkan bagaimana menggunakan akal
pikirannya secara benar. Islam juga mengajarkan agar jiwa dan raganya menjadi sehat. Islam mengajarkan bagaimana agar ucapan, pikiran, hati, dan anggota badannya selalu dijaga agar bersih dan bahkan suci. Dalam Islam diajarkan tentang tazkiyatun nafs. Sedangkan kegiatan ritual, sekalipun sungguh amat penting, namun hanyalah merupakan bagian kecil dari ajaran Islam.
Apa saja yang
terkait dengan ritual mestinya bukan diperdebatkan, melainkan
seharusnya segera dijalankan. Berdedat soal ritual tidak akan membawa
hasil, dalam arti diketemukan mana yang paling duluan diterima dan yang ditolak oleh Tuhan.
Tidak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ritualnya diterima atau
ditolak. Penerimaan dan atau penolakan kegiatan ritual adalah hak
prerogative Tuhan sendiri. Seseorang mungkin menang dalam berdebat, maka sebenarnya belum tentu benar-benar menang di hadapan Allah. Bisa saja yang terjadi justru sebaliknya, bahwa mereka yang kalah, karena ritualnya dilakukan secara lebih khusuk dan ikhlas justru diterima. Sebaliknya, pihak yang menang hanya akan mendapatkan kemenangannya di hadapan orang.
Ajaran
Islam sedemikian luas, yaitu mengajarkan agar para umatnya kaya ilmu
pengetahuan, menjadi manusia unggul dalam arti bertauhid, berhasil bisa
dipercaya, dan selalu menjaga kesucian dalam semua aspek kehidupannya. Selain itu, Islam mengajarkan tentang tatanan sosial yang adil dan juga agar menjalankan semua pekerjaan atau amalnya secara
professional atau beramal saleh. Dalam al Qurán disebutkan bahwa siapa
yang beriman dan beramal saleh akan selamat hidupnya, baik di dunia
maupun di akherat.
Sebenarnya boleh saja di mana-mana terjadi perbedaan atau bahkan berdebat. Tetapi hendaknya perdebatan itu dalam soal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, membangun keadilan dan mencari cara yang tepat dalam beramal saleh. Sebab berbeda dalam ilmu pengetahuan dan lainnya itu akan melahirkan rakhmat. Artinya dengan perbedaan dan perdebatan itu justru pengetahuan dan pengalaman seseorang akan semakin bertambah. Akan tetapi, perbedaan dalam ritual secara berkepanjangan, yang didapat sebaliknya, yaitu umat akan terpecah dan bercerai berai sebagaimana yang tampak selama ini.
Perbedaan dalam beritual sebenarnya sudah terjadi sejak zaman nabi. Banyak kisah tentang itu, misalnya menyangkut tentang pelaksanaan shalat dan bahkan juga haji. Setiap ada perbedaan di antara para sahabat segera dikonsultasikan langsung kepada Nabi. Maka, jika ada pengaduan seperti itu, selalu saja Nabi membenarkan semuanya. Artinya semua yang
telah dilakukan oleh sahabat dalam menjalankan ritual dibolehkan dan
atau dibenarkan. Oleh karena itu, maka dengan perbedaan ritual itu
sebenarnya tidak perlu masing-masing mengklaim, bahwa diri atau kelompoknya yang paling benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar