Minggu, 26 Februari 2012

MEMBANGUN KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLA


Membicarakan Islam dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan memang sangat menarik. Beragam perdebatan mengenai negara Islam yang telah mencuat sejak dua abad silam, pergumulan argumentasi mengenai nasionalisme dan Islam, atau pertengkaran para pemikir mengenai Islam dan demokrasi telah membentuk sebuah ruang yang begitu luas untuk bercengkerama mengenai konsepsi Islam dalam memandang soal-soal sosial dan politik.
Pada perkembangannya, muncul perdebatan dalam memandang format Islam dalam memandang masalah-masalah kemasyarakatan. Perdebatan tersebut terjadi karena adanya tafsir yang berbeda mengenai ajaran Islam seputar muamalah dan siyasah. Setidaknya, perdebatan tersebut dapat kita pandang ke dalam dua spektrum pemikiran.
Pertama, kalangan yang memandang bahwa Islam harus integral dengan negara. Kalangan ini berpendapat, Islam memiliki komprehensivitas dan kompleksitas dalam membahas soal-soal kemasyarakatan, sehingga penerapan ajaran Islam pun harus integral ke dalam sebuah lembaga yang bernama negara. Pendeknya, Islam adalah negara dan negara harus ditegakkan berdasarkan ajaran-ajaran Islam secara formal.
Kedua, kalangan yang memandang bahwa Islam tidak harus diejawantahkan dalam wajah negara, tetapi negara yang ideal adalah negara yang menjalankan nilai-nilai Islam secara substantif. Menurut pendekatan ini, negara yang ideal tidak harus negara Islam yang secara legal-formal menggunakan Islam sebagai simbol, tetapi pemaknaan dan implementasi dari kebijakan publik yang dihasilkan harus sesuai dengan substansi dari ajaran Islam. Simbolnya bisa saja berupa demokrasi atau republik, tetapi substansinya adalah Islam. Dengan kata lain, negara tidak harus bersimbol Islam, tetapi dasar negara adalah substansi dari ajaran-ajaran Islam tersebut.
Dua spektrum pemikiran tersebut kemudian melahirkan perdebatan seputar konsep kebangsaan dan kenegaraan dalam Islam. Titik tekan yang coba penulis ulas dalam esai ini adalah bahwa konsepsi bangsa memiliki ruang dan dimensi tersendiri dalam Islam. Ditilik dari perspektif historis, sosial, dan politik, bangunan negara dalam Islam selalu diawali oleh adanya kesatuan bangsa yang begitu kompleks.
Islam tidak menetapkan bentuk negara untuk manusia, tetapi Islam lebih mendorong manusia untuk membentuk suatu masyarakat (society). Ahmad Muhammad Jamal  dalam bukunya  fikrah al-Daulah fi al-Islam mengatakan  bahwa Islam  tidak  menyusun bentuk negara  yang jelas, tidak pula menyebutkan rinciannya. Agama Islam hanya meletakkan beberapa prinsip dasar  yang bersifat  umum tanpa  dibatasi oleh ruang maupun waktu. Demikian pula yang dikatakan Qomaruddin Khan  dalam al-Mawardi’s Theory of the Stateberpendapat, tujuan al-Quran bukanlah menciptakan  sebuah negara, melainkan sebuah masyarakat. Tidak ada bentuk negara baku dalam Islam membawa hikmah sendiri. Jika di dalammnya  terbentuk sebuah masyarakat Qurani, maka itupun  sudah merupakan tanda-tanda  negara Islam. Dengan tidak adanya penjelasan rinci  merupakan rahmat  besar bagi kaum muslim, karena hal ini memungkinkan Islam untuk  mengikuti kemajuan  jaman dan  menyesuaiakan diri  terhadap  kondisi dan lingkungan baru.
Dalam Islam, masyarakat terbentuk diakibatkan adanya kecendrungan  manusiawi antara manusia untuk berkumpul dalam memenuhi kebutuhan yang diakibatkan oleh pemahaman bersama tentang masalah hidup. Kata lain dari masyarakat dalam terminologi Islam adalah ummat, yang merupakan padanan yang universal  untuk menegaskan eksistensi masyarakat Islam. Menurut Istiyaque Danish, dalam The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State, prinsip dasar yang menjadikan ummat adalah pengakuan atas adanya Allah dan Muhammad saw sebagai utusan AllahSedangkan negara merupakan kesatuan masyarakat yang menyatakan secara formal batas-batas aturan yang mengikat, yang diakui oleh masyarakat di dalam ataupun di luar negara tersebut dikarenakan adanya bermacam alasan, misalnya adanya kesamaan sejarah. Negara merupakan wujud dari hasil aktivitas masyarakat oleh karena itu negara lebih bersifat statis, sedangkan masyarakat lebih bersifat aktif, karena terbentuknya masyarakat lebih merupakan suatu proses kegiatan manusia untuk mendapatkan tujuan yang ia capai, kebahagiaan.
Terbentuk negara Islam merupakan derifasi dari kesadaran masyarakat membangun masyarakat yang bertumpu pada pilar-pilar tauhid. Maka dalam Islam terbentuknya negara Islam  berawal dari terbentuknya karakter tauhidi masyarakat lebih dulu. Menurut Ismail al-Faruqi dalam the Nature of Ummah, yang berjudul  Tauhid, Its Implications for Thought and Life,  iman, syariah, ibadah dan akhlaq meruapakan unsur kemasyarakatan. Sedangkan keimanan  menjadi indentitas masyarakat Islam secara universal dan diakui khususannya. Bila masyarakat tidak mencerminkan nilai-nilai Islam maka akan sulit menjadikan masyarakat maju secara utuh.

Cermin kepemimpinan
Maka dalam membentuk negara Islam harus di awali dengan membentuk masyarakat Islam lebih dahulu. Dalam sejarah Islam, terbentuknya masyarakat berhubungan  dengan unsur kepemimpnan di dalam masyarakat tersebut. Karakter kepemimpinan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memegang komitmennya  terhadap  keadilan, kejujuran, kesederhanan  dan lain sebagainya. Dimasa awal pemerintahan Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar, Umar bi Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib atau khulafaurrashidin hubungan antara pemimpin dan masyarakat menunjukkan pola kehidupan masyarakat negara yang mempunyai etos Islam.
Kepemimpinan pada masa itu sebagai amanat yang harus dipikul. Sebagaimana dikisahkankan ketika Umar diangkat pemimpin di hadapan rakyat Madinah, “Hai rakyatku, awasilah  agar aku  menjalankan pemerintahan dengan hati-hati. Aku bukanlah terbaik di antara kalian , aku membutuhkan nasehat dan  bantuan kalian. Jika akau benar dukunglah aku jika aku salah tegurlah aku. Mengatakan  yang benar kepada orang  yang ditunjukan  untuk memerintah  merupakan kesetiaan yang tulus; menyembunyikan  adalah pengkhianatan . Menurut pandanganku, yang kuat dan yang lemah adalah aman, kepada keduanya  aku ingin berbuat  adil. Bila aku taat kepada Allah dan rasulnya taatlah kepadaku, jika aku mengabaikan hukum Allah dan perintah  Rasul aku tidak lagi berhak aku kalian taati”.
Untuk menjadi pemimpin  tidak diperlukan sejumlah  pengaruh baik posisi atau materi  yang digunakankan untuk mendapatkan kekuasaan. Diriwayatakan oleh Aisyah ra pada saat Abu Bakar ra terpilih beliau mengatakan, “Rakyatku telah mengetahui  yang sebenarnya  bahwa hasil perdagangan ku tidak mencukupi kebutuhan keluarga tetapi sekarang saya dipekerjakan untuk mengurus  mereka”. Sampai dalam kepemimpinannya Abu Bakar tidak memikirkan materi dan tidak pernah meminta kenaikan gaji sampai pada akhirnya ditetapkan kenaikan gaji atas kepemimpinan beliau kurang lebih antara 2.000 atau 2.500 dirham. Saat mendekatai wafat Abu Bakar menanyakan berapa fasilitas  yang telah dinikmati selama kepemimpinanya. Diberitahukan  bahwa fasilitas  yang diberikan kepadanya adalah seorang  budak  yang tugasnya adalah memelihara anak-anak  dan membersihkan pedang-pedang milik kaum muslim, seekor unta membawa air dan  sehelai  kain pakaian biasa. Abu Bakar memerintahkan untuk  mengalikan semua fasilitasnya tersebut kepada pemimpin pengantinya setelah beliau wafat. Ketika Umar mengantikan tampuk kepemimpinan dan beritahukan tentang fasulitas yang diberikan oleh Abu Bakar, Umar berkata, “Oh Abu Bakar Kamu membuat tugas dari pengantimu menjadi sangat sulit”.
Sementara kepemimpinan Umar sebagaimana dikatakan Thaha Husein dalam terjemahan bukunya yang berbahasa Urdu al-Fitnat al-Kubrad, Umar  sangat tegas kepada rakyat dalam hal yang berkaitan dengan ke-Tuhanan, namun terhadap diri sendiri ia lebih tegas  lagi. Sepanjang sejarah  manusia kecuali  nabi besar Muhammad  saw, saya belum menemukan manusia  lain yang melihat  bahaya dirinya dari hal-hal  yang umumnya  dianggap tidak membahayakannya: yang menyalahkan  diri sendiri atas  sesuatu yang  tidak dia perbuat; dan yang menetapkan  disiplin  ekstra ketat terhadap diri sendiri  yang mana  tidak pernah dilakukan  oleh orang lain. Bukan rahasia lagi bahwa sewaktu  terjadianya bencana kelaparan  di Amar Ramad dia melepaskan segala sesuatu  yang dimilki sebagai khalifah. Selanjutnya da menjalani hidup susah  dengan memakan makanan ala kadarnya. Begitu mengetahui bahwa persediaan Ghil (mentega cair) dimasyarakat sudah habis, di berhenti mengunakannya dan beralih ke minyak goreng., selanjutnya hanya memakan roti kering. Namun pengunaan minyak goreng pun dirasa masing bertentangan dengan  hati nuraninya, dan karena itu dia menyuruh juru masanya untuk tidak menggunakannya.
Selain seorang pemimpin dituntut memegang hukum sebagaimana dalam surat Umar kepada gubernur Kufa sebagaimana dikemukakan  Abu Musa Ash’ari dalam tulisannya Shibli Nu’mani yang berjudul al-Farouq,  “Perlakukanlah masyarakat  secara sama dalam hal keadilan sehingga golongan yang lemah bisa menerima keadialanmu dan golongan yang kuat tidak mengharapkan keistimewaan darimu. Pihak penuntut berhak mengajukan bukti dan pihak terdakwa berkhak untuk menyangkalnya. Kompromi diijikan asal saja tidak menyalahi aturan dalam syariah. Jika engkau kemarin mengambil  keputusan dan telah kau pikir-pikir ternyata kurang tepat, maka tidak ada salahnya engkau koreksi demi kepentingan hukum”.
Sikap kepemimpinan yang sederhana pun tercermin dari sifat Ali. Dalam suatu riwayat Ali menarik diri dari  daftar peneriman dana dari perbendaharaan negara (Baitul Mal) bahkan  ia memberikan 5.000 dirham  setiap tahunnya ke Baitul Mal. Ali adalah seorang yang sederhana dalam menjalankan keuangan negara. Suatu hari saudara nya Aqil datang meminta bantuan uang tetapi Ali menolak karena sama saja mencuri uang milik masyarakat Walaupun dalam kondiisi materi yang sangat minim  keempat pemimpin Islam tersebut mampu mensejahterakan rakyatnya. Mulai dari masa pemerintahan Umar bin Khattab mulai diatur pemberian tunjangan kepada seluruh masyarakat dengan jumlah berbeda-beda, berkisar antara 12.000 dirham sampai 2.000 dirham. Mulai dari hazrat Aisyah  dan Abbas paman Rasululullah saw, Istri-istri Rasululullah saw selain Aisyah, Hazrat Ali, Hasan, Husein, pejuang Badar, bekas pejuang-pejuang Uhud  dan Migran  ke Abyssinia, Muhajir dan Muhajirat sebelum kemenangan Mekkah, Putra-putra bekas pejuang Badar; anak dari Muhajirin dan Anshar, bahkan para budak diberi tunjangan. Pemberian tunjangan dilakukan pemerintah sampai pemerintahan Abbasiyah
Bahkan secara individual kekayaan para sahabat pada masa khulafaurrashidin sangat besar. Pada masa Utsman bin Affan sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah bahwa orang-orang di sekeliling Muhammad memdapatkan  fasilitas perumahan  dan uang. Sedangkan pada masa Utsman, uang sejumlah 50.000 dinar dan 100.000 dirham berada  di tangan bendaharanya. Perumahan  yang dimiliki di Hunayn dan Qadi al-Qura serta tempat-tempat  lain bernilai 200.000 dinar. Dia mewariskan  1000 kuda dan 1000 wanita pelayan. Penghasilan Talhah dari Iraq mencapai angka 100 dinar sehari, dan pendapatnnya dari wilayah ash-Shrah bahkan lebih banyak dari itu. Kandang milik Abdurahman bin Auf berisi 1.000 kuda. Dia juga memiliki 1.000 unta dan 10.000 biri-biri. Nilai seperempat lahan yang dia wariskan  mencapai 84.000 dinar. Zaid bin Tsabit mewariskan emas dan perak yang telah ditumpuk halus dengn beliung dan bila ini ditambahkan dengan lahan dan kekayaannya yang lain nilainya bisa mencapai 100.000 dinar. Az-Zubair memiliki kediamaan di Basra, Mesir, al-Kufah dan Alexandaria.
Selain ini merupakan konswensi dari nilai-nilai Islam bahwa kepemimpinan adalah amanah. Amanah yang bisa diartikan suatu  kepercayaan yang diberikan masyarakat yang di berpedoman pada hukum Islam kepada sesosok figur yang mempunyai kemampuan lebih dalam memimpin  masyarakat bukan kepercayaan di dasarkan atas faktor materi; uang atau yang lainnya. Oleh karena itu perjanjian (akad) antara pemimpin kepada masyarakat secara tersirat mengandung arti bahwa kepemimpin yang ia peroleh merupakan tanggung jawab yang harus dipikul sebagai seorang yang di beri Allah SWT kemampuan lebih dalam memimpin. Sehingga memimpin merupakan tangung jawab yang harus di pikulnya sebagai orang yang mempunyai kelebihan, dan bertanggung jawabannya kepada Allah yang memberikan kelebihan tersebut. Jika  masyarakat menemukan pemimpin yang lebih dari dia maka ia dengan suka rela akan mengundurkan diri.

Di dalam Surat Ar Ra’d ayat 11
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. 
Allah telah berfirman tentang kebangkitan manusia, bangkitnya manusia tergantung pada landasan kehidupannya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan di dunia ini, begitu pula ketika kita ingin membangun sebuah masyarakat Islam, harus ada niat dan gerak kita untuk menuju terwujudnya masyarakat Islam tersebut, karena ini merupakan wilayah yang kita kuasai, untuk keberhasilan dari usaha kita itu adalah pertolongan dari Allah SWT dan ketika kita ada niat dan kesungguhan Insya Allah, Allah akan memberikan kemudahan terhadap perjuangan kita. 
Ketika kita sudah memahami hakekat sebuah masyarakat yang  tidak hanya sebuah bangunan fisik belaka, ketika kita akan membangun masyarakat yang Islami yaitu dengan pembinaan terhadap masyarakat dengan cara berdakwah serta berinterakasi dengan umat  sehingga nantinya akan melahirkan sebuah pemikiran dan perasan yang Islami. Ketika masyarakat sudah faham dan terbina dengan pemikiran dan perasaan Islam, selanjutnya adalah merealisasilkan pemikiran dan perasaan islam tersebut dengan menerapkan peraturan Islam di dalam sebuah masyarakat, karena hanya dengan peraturan Islam perasaan dan pemikiran Islam akan tetap terjaga.
Sebuah masyarakat Islam juga tidak akan terlepas dari sebuah sistem yang diterapkan di sebuah masyaraakat tersebut, karena sistem yang akan menjadi pijakan untuk melaksanaan segala aturan yang ada di masyarakat, oleh karena itu kalau sebuah masyarakat tetap mengadopsi  sistem demokrasi-sekuler terciptanya masyarakat islam akan tetap sia-sia karena rakyat akan tergerak berdasarkan sistem yang diadopsi, dan solusinya tidak ada cara lain selain mengantinya dengan sistem Islam dan sistem sebuah masyarakat juga digerakkan sistem yang diadopsi oleh Negara, maka dari itu sebuah masyarakat islam akan terwujud jika sistem yang diadopsi oleh Negara adalah sistem Islam, yang akan tetap menjaga pemikiran, perasaan, dan peraturan Islam umat. Dalam hal ini Imam Gozali telah memaparkan : Agama itu merupakan pondasi dan Negara itu penjaganya, jika sebuah Negara tidak ada pondasinya akan rapuh, dan sebaliknya jika Agama tidak ada penjaganya akan hilang.
Wallahualam bis sawabb







 

Oleh :
WIJAYA – STT PLN JAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar